KULIAH 20 SKS
Walaupun tujuan perjalanan kami adalah untuk KKN (kuliah
kerja Nyata), namun bagi kami bukan sekedar menyelesaikan kuliah 6 sks tersebut
tapi juga melihat kondisi pulau-pulau kecil di Sulawesi utara. Berangkat dari
tujuan tersebut, kami dari tim10 (julukan bagi kami yang berangkat terlebih
dahulu) diberangkatkan dari bandara Hasanuddin TNI AU menggunakan pesawat
Hercules menuju bandara Sam Ratulangi di Manado kemudian dilanjutkan ke Bitung
tepatnya di KODIM 712 menggunakan truk milik KODIM 712. Setelah menunggu
peserta KKN 64 orang lainnya selama 3 hari di Bitung, kami menuju pulau tujuan
yaitu pulau Miangas melalui pelabuhan Bitung menggunakan kapal perintis Meliku
Nusa. Sebelum menginjakkan kaki di pulau Miangas, terlebih dahulu kami
menginjakkan kaki di 6 pulau yaitu pulau Makalehi, Karakitan, Siau, Kawaluso,
Tahuna dan Marore. Setelah menempuh perjalanan selama 3 hari 3 malam akhirnya
kami tiba di pulau tujuan pada pukul 07.30 WITA. waktu itu cuaca sangat
bersahabat, sehingga kolaborasi warna antara warna biru laut, pasir putih,
langit biru, tanjung Wora bertebing coklat-hitam, gunung Kramat yang tinggi
berwarna hijau dan jejeran pohon kelapa dibaris terdepan menambah keeksotisan
panorama pulau Miangas.
Pulau Miangas jauh terpisah
Dari kepulauan Indonesia
Satu pulau perbatasan
Itu sungguh…
Tanahku pujaanku
Walaupun sering-sering
Ditimpa bencana
alam
Tinggilah harapan Setiap masa
Kepada Tuhan YME
Hidupku aman sentosa
Itu adalah salah satu lagu daerah
Miangas yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.Lagu tersebut
menggambarkan Miangas sebagai pulau terdepan Indonesia sebelah utara yang
berbatasan langsung dengan negara tetangga yaitu Filipina yang konon katanya
dulu sering ditimpa bencana alam karena letak geografisnya yang merupakan
pertemuan arus.Sedikit gambaran tentang Miangas, pulau yang sangat unik dari
segi budaya, adat-istiadat dan alamnya.
Bagi yang telah menginjakkan kaki di
Miangas, adat-istiadat adalah hal yang mutlak dipatuhi bagi seluruh lapisan
masyarakat tanpa pandang bulu.Bagi yang pertama kali menginjakkan kaki di
Miangas wajib untuk berkunjung ke gunung Kramat, disana terdapat benda
peninggalan perang (meriam kecil 4 buah) yang digunakan oleh pahlawan Miangas
dalam mempertahankan pulau tersebut.Dari atas gunung Kramat terlihat
pemandangan yang sangat eksotis, serasa melihat pulau Miangas melalui satelit
dengan perbesaran maksimum.Pulau Miangas yang nampak hijau karena pohon kelapa,
cengkeh, pala dan pohon yang lainnya, laut yang biru serta tanjung Wora yang
terletak tepat di ujung lengkungan pulau Miangas yang menambah keindahannya. Di
Miangas terdapat tanaman pakan yang khas, orang sana menyebutnya Laluga (berupa
talas namun besar) dan sagu tanah yang jika tidak diolah dengan baik akan
terasa pahit dan menjadi racun. Pohon kelapa yang melimpah membuat warga
Miangas tidak bergantung pada minyak produksi luar, pohon pandan berduri
memberikan penghasilan tambahan bagi beberapa ibu-ibu rumah tangga yang kreatif
mengubahnya menjadi tikar dan topi yang beragam warna yang bisa dijadikan
cindera mata dari Miangas.Mayoritas pekerjaan warga Miangas adalah nelayan
dengan alat tangkap yang masih sangat sederhana yaitu alat pancing dengan mata
kail dalam bahasa Talaud disebut “Gumala”. Perahu yang biasa digunakan untuk
melaut hanya dapat menampung maksimal 3 orang yang disebut “Pamboat”, meskipun
alat yang digunakan masih sangat sederhana namun hasil tangkapan cukup untuk
menghidupi keluarga selama beberapa hari tanpa harus merusak ekosistem laut
dengan bom ataupun bius.Selain alat pancing tersebut, nelayan disana juga
menggunakan alat penembak ikan yang disebut “Jubi” dan pekerjaan menembak ikan
dengan alat tersebut disebut “Bajubi”.Walaupun alat sederhana, tapi tingkat
eksploitasi hiu dikategorikan cukup tinggi yang hasilnya diekspor ke Filipina.
Budaya warga Miangas memang unik,
keunikan lainnya yaitu “Manami”.Manami adalah panen ikan dimana ikan-ikan
tersebut di dalam jaring yang diletakkan di bawah permukaan air yang biasanya
dipanen pada bulan Maret.Tujuan dari Manami sebagai stok persediaan ikan jika
nelayan tidak melaut pada bulan agustus-desember karena kondisi cuaca yang
melarang nelayan untuk melaut.Biasanya Manami dilaksanakan meriah karena telah
menjadi pesta adat.
Walaupun alat tangkap yang digunakan
masih sangat sederhana, tapi kondisi ekosistem terumbu karangnya sangat
memprihatinkan.Yang merusaknya bukan karena ledakan bom untuk memungut ikan,
tapi merupakan saksi bisu perang perebutan pulau Miangas. Di sebelah tenggara
tepatnya di dermaga, gelombang lautnya cukup kuat yang memaksa pemerintah
setempat untuk melindungi pantai dengan tanggul (talud: bahasa Talaud) agar tidak terjadi abrasi. Hutan mangrove
disana selain terumbu karang juga tidak bisa lagi memecah gelombang karena
letaknya yang terhalangi oleh bangunan rumah dan kantor serta jaraknya dari
pantai cukup jauh. Jenisnya hanya dua yaitu Avicennia
sp. dan Bruguiera sp..walaupun
kondisi ekosistemnya memprihatinkan, tetap indah di mata dan di hati. Rindu dengan
sapaan:
“pagi papa, mama, oma, opa”
“siang papa, mama, oma, opa”
“malam papa, mama, oma, opa”
“sore papa, mama, oma, opa”
Bagi pendatang akan merasakan rasa
kekeluargaan yang sangat kental dan akan terbiasa dengan sapaan itu. “Brenti Jo
Bagate” yang berarti “Berhenti Mabuk-mabukkan” yang terpampang jelas di baligho
dekat puskesmas lama menjadi seruan bagi para pencinta “Cap Tikus” jenis minuman yang memabukkan itu agar berhenti
mengkonsumsinya.Masyarakat Miangas mayoritas beragama Kristen protestan dengan
satu gereja besar dan satu gereja Pantekosta yang kecil.
Agama Islam dibawa oleh para pendatang yang awalnya hanya bekerja sebagai
pekerja dermaga dan menikah dengan wanita Miangas sehingga si istri muallaf dan
menjadi muslim, hanya ada 4 kepala keluarga muslim dan satu mushallah di Pos
Angkatan Laut (POSAL). Pulau perbatasan tersebut diawasi oleh para prajurit
terlatih TNI, mulai dari Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL) dan Marinir.
Di pulau laluga tersebut terdiri dari
12 suku yang dipimpin oleh pemuka adat yang disebut Mangkubumi I dan Mangkubumi
II.Mangkubumi I diibaratkan seorang ayah dan Mangkubumi II diibaratkan seorang
ibu meskipun sebenarnya Mangkubumi II adalah seorang laki-laki tapi fungsinya
layaknya seorang ayah dan ibu yang mengurusi anak-anaknya. Pada hari
Rabu/10/07/2013 bapak Mangkubumi II wafat yang artinya semua aktivitas outdoor
seperti melaut, berkebun dan kegiatan yang lainnya harus divacumkan selama
pemakaman belum selesai.Pemvacuman itu tidak hanya berlaku bagi pemuka adat
ataupun pemuka agama yang meninggal, tapi siapapun yang meninggal seluruh
aktivitas di luar dihentikan sesaat sebagai wujud menghargai keluarga yang
berduka.Jika yang meninggal adalah pemuka adat atau pemuka agama, setelah
ibadah di rumah duka dilanjutkan ibadah terakhir di gereja lalu peti mayat
dibawa keliling kampung (diarak) agar warga yang tidak sempat mengikuti ibadah
dapat mengucapkan selamat tinggal. Berbicara tentang “diarak”, ternyata bukan
hanya pemuka adat yang jika meninggal diarak tapi juga bagi yang melanggar
norma, baik itu norma agama, adat maupun norma susila. Jika seseorang
tertangkap basah melanggar norma, misalnya mencuri maka akan dipukuli lalu
diarak keliling kampung sambil menyebutkan kesalahan yang dilakukannya.
Begitupun jika seseorang melanggar norma susila, misalnya hubungan gelap
(Hugel) maka si pria akan dipukuli lalu keduanya diarak keliling kampung dan
mengakui kesalahannya. Hukum adat di pulau Miangas memang masih sangat kental
yang membuat masyarakatnya enggan untuk melanggar.
Setelah kurang lebih sebulan berada di
Miangas, tepat pada tanggal 23/07/2013 kami harus meninggalkan pulau miangas
dengan menyisahkan banyak kenangan. Setelah meninggalkan pulau Miangas, kami
harus melewati 5 pulau lagi yaitu pulau Karatung yang jaraknya dari Miangas 7
jam perjalanan, pulau Geme, Melong, Lirung dan kembali ke pulau Tahuna untuk
transit menuju Manado menggunakan kapal Metro Teratai dengan lama perjalanan
selama 10 jam. Setelah tiba di Manado, kami dijemput truk tentara milik Yonif
712 dan diantar ke Yonif 712 menginap semalam yang esok harinya ke Bitung untuk
menuju Makassar menggunakan kapal Pelni Tilong Kabila. Perjalanan dari Bitung
ke Makassar juga butuh 4 hari karena kami harus mengikuti rute pelni yaitu
pelabuhan Gorontalo, Luwuk, Kolonedale, Kendari, Raha, Bau-bau dan barulah Port
of Makassar pada tanggal 31 Juli 2013.
Sebulan disana dengan program kerja
yang padat, serasa tidak cukup untuk menikmati keindahan pulau Miangas secara
utuh dan khusyuk. kelautan.uh@gmail.comTapi kami tidak pesimis, kami selalu berharap dapat kesana
kembali, bersua dengan keluarga kecil kami lagi, dan berlayar kembali
bersama-sama.
Thank to Allah SWT karena telah
memberikan kami kesehatan dan kesempatan untuk menikmati keindahan Miangas
walaupun hanya sebulan, kepada UNHAS karena telah menyelenggarakan KKN di
Miangas, juga kepada KODAM VII WIRABUANA atas bantuan dan kerjasamanya,
terlebih lagi kapten dan ABK kapal Perintis Meliku Nusa, Metro Teratai dan
kapal pelni Tilong Kabila yang tetap sabar mendengar keributan-keributan kecil
kami.
Gunung Kramat
Tanjung Wora
Gunung Kramat
Tanjung Wora dari kejauhan